Ulum Al Sanad/ Ahli Hadis
Kamis, 09 Juli 2015
Miftahfaridsa.Site - Para ahli hadits dalam menetapkan dapat diterima atau
tidaknya suatu hadits tidak mencukupkan diri pada terpenuhinya syarat-syarat
diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena hadits itu sampai
kepada kita melalui mata rantai rawi yang teruntai dalam sanad-sanadnya. Oleh
karena itu, haruslah terpenuhi syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran
perpindahan hadits disela-sela mata rantai tersebut. Syarat-syarat tersebut
kemudian dipadukan dengan syarat-syarat diterimanya rawi, sehingga penyatuan
tersebut dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui mana hadits yang dapat
diterima (maqbul) dan mana yang harus ditolak (mardud).
A. Pengertian Sanad atau Isnād
Sanad atau Isnad menurut bahasa
adalah sesuatu yang terangkat dan meninggi dari lereng gunung. Dikatakan
seperti itu, karena seorang sanad (musnid) mengangkatnya
(hadis) kepada orang yang mengatakannya (sanad).
Sanad atau Isnād menurut
Istilah adalah penjelasan tentang jalan (rangkaian periwayat) yang menyampaikan
kita kepada materi hadis. Dikatakan seperti itu, karena sanad itu merupakan sandaran dan hujjah
para muhaddisīn dalam memberikan penilaian hukum terhadap hadis,
apakah ia hadis shahīh, hasan atau dhaīf. Atau
dikatakan sanad karena seorang penghafal hadis (huffāz)
berpegang teguh pada sanad atau isnād dalam memberikan
penilaian sebuah hadis apakah shahīh atau dhaīf.
Sedangkan kata Isnād,
ulama memberikan pengertian sama dengan pengertian sanad. Al-Tibbi misalnya,
berpendapat bahwa sanad dan isnād sinonim, yakni seorang
penghafal hadis berpegang teguh atas keduanya (sanad dan isnād)
dalam memberikan penilaian subuah hadis apakah shahīh atau dhaīf.
Dan Ibn Jama’ah juga berpendapat demikian bahwa sanad dan isnād
sinonim.
B. Urgensitas
Studi Sanad (rantai rawi)
Studi sanad adalah
meneliti hadits beserta sanad (rantai rawi) dan matannya (teks) dan bukan
sekedar sanad hadits. Adapun caranya adalah dengan mempelajari istilah-istilah
dalam ilmu hadits terlebih dahulu untuk mencapai tujuan dari studi ini, yaitu
mengetahui derajat suatu hadits.
Pada masa sahabat,
tabi'in, tabi' at-tabi'in penyebaran hadits melalui lisan, meskipun ada
beberapa yang diijinkan untuk menulis karena lemahnya hafalan mereka. Ada yang meriwayatkan
hadits langsung dari Rasulullah SAW atau hanya dari satu perawi (jika itu
sahabat). Ada pula yang meriwayatkan dari satu, dua dan tiga perawi. Maka
tatkala seorang perawi meriwayatkan sebuah hadits, ia tidak mengalami kendala
dalam menghafalkannya, baik dari segi matan ataupun sanad. Di samping itu,
ketika seseorang menyodorkan sebuah hadits, secara tidak langsung merekapun
mengetahui kualitas rantai sanadnya karena dekatnya zaman antara para
perawinya. Maka, sejatinya studi sanad ini sudah dimulai sejak masa sahabat dan
generasi selanjutnya.
Sebagaimana yang telah
saya jelaskan dalam mukadimah, ilmu hadits khususnya studi sanad adalah
satu-satunya ilmu dalam agama Islam yang tidak ada padanannya dalam agama lain.
Misalnya kita kenal dalam kriteria diterimanya sebuah hadits, ia harus
diriwayatkan oleh perawi yang bersambung (ittisal as-sanad), cermat
(adh-dhabt), jujur ('al-adalah), tahan dalam komparasi ('adam asy-syudzudz) dan
penelusuran lebih lanjut ('adam al-'illat). Hanya dalam Islam kita menemukan
kriteria cermat untuk sebuah informasi atau sumber agama. Coba kita lihat
rantai informasi dalam Yahudi. Apa yang dikatakan oleh Musa kepada pengikutnya
putus (mursal) karena jarak antara Musa dengan pengikutnya sangat jauh.
Kemudian Nasrani, rantai informasinya terputus dan dibuat-buat.
Maka dari itu, studi
sanad ini sangatlah penting. Diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam
kitabnya Al-Kifayah fi 'Ilmi Ar-Riwayah dengan sanad sampai Ibnu Mubarak, ia
mengatakan: "mempelajari sanad yang bersambung adalah termasuk bagian dari
agama". Diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dalam mukadimah Shahihnya
dengan sanad sampai Abdullah bin Mubarak, ia berkata: "sanad itu adalah
bagian dari Islam, jikalau tiada sanad tentunya seseorang akan berbicara dengan
kehendaknya sendiri".
Seiring dengan
perkembangan zaman dan penyebaran Islam, studi sanad ini pun makin mengalami
beberapa kendala. Karena para perawi terpencar di beberapa negara. Maka untuk
mengetahui perihal tentang rawi, misal nama, julukan, nasab, asal negara, tahun
lahir dan wafat dan lain sebagainya membutuhkan referensi, baik lisan maupun
tulisan.
C. Usaha Ulama dalam Studi Sanad
Adapun salah satu usaha
yang dilakukan oleh ulama hadits dalam menjaga keotentikan sebuah hadits selama
ini adalah menulusuri/studi atas sanad, antara lain:
1. Identifikasi
Nama-nama Perawi dalam Sanad
Sering kali kita
temukan seorang perawi meriwayatkan suatu hadits dengan menyebutkan perawi di
atasnya baik nama asli, julukan ataupun nasab. Bahkan tak jarang juga ia hanya menyebutkan
nasab ataupun julukan saja. Padahal banyak sekali perawi yang mempunyai nama
atau julukan yang hampir sama (mu'talif wa mukhtalif)yang tidak dapat dibedakan
kecuali oleh ahlinya, misalnya Al-Bazzar dengan Al-Bazzaz. Padahal kedua
gelar/julukan tidak ditujukan untuk satu perawi. Al-Bazzaz adalah julukan untuk
Muhammad bin Shabah Al-Bazzaz. Sedangkan Al-Bazzar dinisbatkan kepada pekerja
yang menjadikan biji katun menjadi minyak (dalam bahasa Baghdad) diantaranya
adalah Al-Hasan bin As-Shabah Al-Bazzar. Kedua julukan ini ada dalam Shahih
Bukhari-Muslim.
Kemudian ada juga yang
meriwayatkan dari dua perawi atau lebih yang memiliki nama, nama ayah, nasab
dan julukan yang sama dalam penulisannya, namun sejatinya adalah beda (muttafiq
wa muftariq). Ada juga yang meriwayatkan dari seorang perawi tanpa menyebutkan
nama ayah, nasab atau julukannya. Padahal banyak sekali perawi yang memiliki
kesamaan nama. Misalnya, Hammad tanpa menyebutkan apakah yang dimaksud itu
Hammad bin Zaid atau Hammad bin Salamah.
Inilah salah satu hal
penting yang harus kita perhatikan, khususnya para peneliti dan pembaca
kitab-kitab hadits. Karena ketidaktahuan akan satu nama perawi saja bisa
mempengaruhi ketika kita ingin menilai sebuah hadits. Maka dari itu, ulama
terdahulu sudah mengarang buku-buku untuk membantu studi sanad dalam sebuah
hadits. Misalnya dalam julukan (laqab), Ibnu Hajar mengarang sebuah kitab yang
berjudul Nuzhah Al-Albab fi Al-Alqab. Kemudian dalam al-mu'talif wa mukhtalif,
ada kitab yang berjudul Musytabih An-Nisbah karangan Al-Hafidz Adz-Dzahabi.
2. Al-jarh wa
at-ta'dil
Setelah
mengidentifikasi nama-nama perawi, para ulama hadits menempuh metode
selanjutnya untuk menilai sebuah hadits, yaitu yang kita kenal dengan nama
al-jarh wa at-ta'dil. Dalam tahapan inilah sebuah hadits akan benar-benar diuji
keshahihannya dan tidak semua orang bisa menguasainya. Ada banyak perangkat
yang harus dipenuhi untuk melakukan tahapan ini.
Dalam dunia al-jarh wa
at-ta'dil kita kenal masing-masing ulama berbeda dalam menilai seorang perawi.
Bahkan perdebatan sengit di antara para ulama al-jarh wa at-ta'dilpun sering
kita temui. Belum tentu perawi yang dinilai kuat oleh ulama A dinilai kuat juga
oleh ulama B dan seterusnya.
Dalam hal ini, bagi
para pengkaji hadits dibutuhkan kecermatan, kehati-hatian dan tidak
tergesa-gesa memberikan penilaian atas sebuah hadits. Sebelum menilai kekuatan
(tsiqah) dan kelemahan (dla'if) seorang perawi, pengkaji hadits harus melihat pendapat
ulama atas perawi tersebut.
3. Al-I'tibarat
bi Al-Mutaba'ah wa Asy-Syawahid
Adapun yang dimaksud
dengan al-i'tibar adalah proses penyeledikan yang dilakukan oleh seorang ahli
hadits terhadap sebuah hadits, apakah ia memiliki al-mutaba'ah (ada perawi lain
dalam tingkatannya yang meriwayatkan dari syaikh/guru yang sama) dan
asy-syawahid (ada matan lain yang diriwayatkan oleh perawi lain yang lafadz dan
makna atau maknanya saja sama) atau tidak. Tujuannya adalah untuk menguatkan
sebuah matan hadits. Adakalanya hadits yang dla'if lidzatihi bisa menjadi hasan
lighairihi apabila ditemukan ada beberapa riwayat yang derajatnya sama atau
lebih tinggi. Begitu juga adakalanya hadits hasan lidzatihi bisa naik
derajatnya menjadi shahih lighairihi apabila ditemukan ada riwayat lain yang
menguatkannya.
Tampaknya dalam menetapkan kriteria otentisitas hadits
terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli hadits.
a.
Imam Bukhari dan Imam Muslim
Imam Bukhari dan Imam Muslim adalah dalam menilai kriteria
hadits sahih memiliki perbedaan, Imam Bukhari mengharuskan terjadinya pertemuan
antara para periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad walaupun pertemuan
itu hanya terjadi sekali saja. Sedangkan Imam Muslim, pertemuan itu tidak harus
dibuktikan, yang penting antara mereka telah terbukti pernah hidup dalam satu
masa (se-zaman).
Dapat difahami bahwa pada dasarnya ulama’-ulama’ muhaditsin
mutaqoddimin belum memberikan kriteria hadits sahih secara tegas, sebagaimana
Imam Bukhari dan Imam Muslim, mereka tidak mengemukakan kriteria definisi
kesahihan hadits secara jelas hanya saja memberikan petunjuk atau penjelasan
umum tentang kreteria hadits yang kualitasnya sahih yang terletak pada masalah
pertemuan antara periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad. Oleh karena
itu kemudian muncullah pendapat beberapa muhaditsin mutaakhirin salah satunya
adalah Ibnu Al- Shalah.
b.
Imam Al-Khaththabi
Hadits sahih adalah hadits yang sanadnya muttasil
(bersambung) dan rawinya bersifat adil. Definisi tersebut sempat mengundang
polemik, karena dalam definisi ini seakan-akan tidak disebutkan syarat kuatnya
hafalan rawi, tidak terdapat kejanggalan dan cacat. Padahal kuatnya hafalan
rawi merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam hadits sahih. Hal ini disebabkan
karena orang yang banyak salahnya dalam meriwayatkan hadits, sekalipun ia
bersifat adil maka haditsnya harus ditinggalkan. Menanggapi pernyataan tersebut
Imam Al Suyuthi mengutip pendapat al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan
bahwa pernyataan tersebut secara tidak langsung telah mengisyaratkan kuatnya
hafalan rawi. Maksud dari orang yang adil adalah orang yang telah dinilai tsiqoh
(terpercaya) oleh para kritikus hadits. Dan syarat rawi disebut tsiqoh adalah
apabila dalam dirinya telah terkumpul sifat adil dan dhabith.
c.
Ibnu Al- Shalah
Hadits sahih adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi SAW,
yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabith,
diterima oleh rawi yang adil dan dhabith, tidak ada kejanggalan, dan tidak
ber’illat.
Menurut beberapa literatur yang ada, pendapat Ibnu Al-Shalah
lebih banyak diikuti oleh para ahli hadits dalam menentukan kriteria kesahihan
(keautentitasan) sebuah hadits, hal ini dikarenakan Ibnu al-Shalah dengan tegas
menyebutkan bahwa kesahihan sebuah hadits adalah, apabila sanadnya bersambung,
rawinya bersifat adil, rawinya bersifat dhabit (kuat hafalannya), tidak
terdapat kejanggalan (syudzudz), dan tidak terdapat cacat (‘illat),
sehingga pendapat beliau banyak diikuti oleh beberapa ulama’ hadits.
d.
Nashiruddin Al-Albani
Dalam menentukan kesahihan (autentisitas) hadits dan
kepalsuan sebuah hadits tertentu berdasarkan analisis pada isnad, dengan
menggunakan informasi yang terdapat pada kamus-kamus biografi. Isnad yang tidak
tsiqoh, berarti tidak tsiqoh haditsnya. Akibatnya, ia merasa
tidak penting menafsirkan sebuah hadits yang ber-isnad tidak tsiqoh, karena
penafsiran adalah bagian dari autentifikasi.[7]
Dapat difahami bahwa hadits yang sahih adalah hadits yang isnadnya tsiqoh
(terpercaya) jika isnadnya tidak tsiqoh berarti tidak sohih haditsnya,
sedangkan untuk mengetahui tingkat ketsiqohan isnad tersebut metode yang
dipakai Albani adalah dengan menggunakan informasi atau sumber-sumber dari
kamus-kamus biografi tentang kualitas para perawi hadis. Sayangnya beliau hanya
mengikuti penilaian dari para penulis biografi mengkaji secara komprehensif
biografi tersebut. Sehingga beliau mengemukakan bahwa isnad hadis yang
tidak tsiqah (terpercaya) berarti tidak tsiqah pula hadisnya dan
karenanya harus ditolak.
D.
Otentisitas Hadis Menurut Kaum Sufi
A. Liqa’
al-Nabi
Secara bahasa kata
liqa’ berarti menghadap, melihat dan bertemu.maka kata liqa’ al Nabi berarti
menghadap Nabi SAW. Melihat Nabi SAW. Dan bertemu Nabi SAW.
1.
Pandangan kaum
sufi tentang mimpi
Para ulama membagi mimpi kedalam
tiga jenis, Pertama, mimpi yang
merupakan pengaruh kecemasan atau pengaruh bisikan hawa nafsu. Mimpi jenis ini
disebut mimpi nafsu (al-ru’ya al-nasfsiyyah). Kedua, mimpi yang merupakan campuran tangan setan, dimana setan menguasai
atau mempengaruhi tidur seseorang akibat dorongan atau kegelisahan jiwanya,
sehingga setan mampu memasukkan apa yang ingin ia masukkan, dan hasilnya adalah
mimpi. Ketiga, mimpi rohani atau
mimpi yang berasal dari Tuhan mimpi ini disebut dengan mimpi yang benar.
a. Al-ru’yah
al-shadiqah al-muhaqqaqah
b. Al-ru’ya
al-shalihah
c. Al-ru’ya
al-hatifah al-marmuzah
d. Al-ru’ya
al-muhadzirah
2.
Mimpi kaum sufi
Salah seorang sufi pernah
mengatakan bahwa di dalam tidur, ada saat-saaat yang tidak didapat dalam waktu
sadar, anatar lain dapat melihat Rasullah SAW. Paara sahabat para ulama salaf,
di mana hal ini tidak dapat dilihat saat jaga begitu juga dalam tidur, sufi
dapat melihat Allah dan ini merupakan keistimewaan yang agung.
a. Mimpi
Bertemu Allah.
b. Mimpi
bertemu Rasullullah SAW.
B. Sufi
yang Mengklaim bertemu Nabi SAW
1.
Al-Tijani
2.
Abu Hasan
al-syadzili
3.
Ibnu ‘Arabi
4.
Muhammad
al-Suhaimi
C. Thariq
al-Kasyf
1.
Pandangan sufi
terhadap kasyf
Kasyf secara bahasa berarti
menampakkan, mengangkat sesuatu yang menyelubungi atau menutupinya.
2. Tangga
mencapai Kasyaf
a. Maqam
taubat
Tahapan pertama yang harus dilalui
oleh setiap sufi adalah penyesalan (taubat).
b. Maqam
wara’
Dalam tasawuf, wara’ merupakan
tangga kedua setelah taubat. Disamping sebagai sarana pembinaan mentalitas,
wara’ juga merupakan tangga awal untuk membersihkan hati dari ikatan keduniaan.
Oleh karena itu, dalam tasawuf dikembangkan dengan berbagai macam pengertian dan
tingkatan-tingkatan wara’.
c. Maqam
zuhud
Pengertian zuhud dapat disimpulkan
bahwa zuhud berarti hikmat pemahaman yang membuat penganutnya mempunyai
pandangan khusus terhadap kehidupan dunia, dimana mereka tetap bekerja dan
berusaha. Akan tetapi, kehidupan dunia itu tidak menguasai kecenderungan hati
mereka serta tidak membuat mereka mengingkari tuhannya.
d. Maqam
fakir
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
menyebutkan kefakiran atau kemiskinan sebagai maqam yang paling tinggi, bahkan
merupakan intisari dari seluruh jenjang pendakian spritual yang hendak di
jalani oleh kaum sufi. Orang fakir berarti orang yang membutuhkan pada sesuatu.
Sedangkan segala sesuatu selain Allah adalah fakir, karena dia membutuhkan
kelangsungan eksistensinya yang dapat diambil dari karunia Allah. Dan kefakiran
hamba kepada beberapa tambahan dari apa-apa yang dibutuhkan tak terhitung
jumlahnya, sejumlah kebutuhannya ada yang dapat dipenuhi dengan harta dan ada
yang tidak.
e. Maqam
sabar
Berkaitan dengan hal ini, abu
thalib al-makki membagi kesabaran menjadi tiga macam : pertama, menghentikan
keluh kesah, dan ini termasuk kedalam tahapan taubat. Kedua, merasa puas dengan
apa yang telah ditentukan Allah, dan ini termasuk dalam tingkatan zuhud.
Ketiga, menerima dan menyenangi semua yangtelah ditentukan Allah kepada kita,
dan ini termasuk ke dalam tahapan seorang sahabat sejati Allah.
f. Maqam
tawakkal
Dalam syari;at Islam diajarkan
bahwa tawakal dilakukan sesudah segala daya upaya dan ikhtiyar dijalankan, jadi
yang ditawakkalkan atau yang digantungkan pada pertolongan Allah adalah hasil usahanya
yang maksimal. Tawakkal harus dilandasi dengan kerja keras. Secara bahasa
tawakkal memang berarti pasrah, tetapi bukan berarti tanpa ada usaha. Abu Ayyub
berkata : “Tawakkal ialah bersemangat dala, beribadah dan selalu menggunkaan
hatinya kepada Allah, dan menerima atas pemberian Allah.
g. Maqam
ridla
Maqam ridla adalah ajaran untuk
menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan, dan kesusahan
menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Dengan kata lain, orang yang ridla adalah
orang yang menerima segala ketentuan (takdir) Allah, baik dan buruk. Pada saat
menerima takdir yang jelek, ia bersabar dan pada saat mendapatkan kenikmatan,
ia bersyukur.
3. Pengalaman
kejiwaan kaum sufi
Ahwal menurut al-Sarraj berarti
keadaan yang meliputi seseorang atau perasaan yang terkandung di dalam hati.
Keadaan yang meliputi: Muraqabah (merasa diawasi), qurb (merasa dekat),
mahabbah (rasa cinta), khauf (rasa cemas), raja’ (rasa harap), ‘Isyq (rasa
rindu), uns (rasa berteman), thuma’ ninah (tentram), musyahadah (memandang
tuhan), dan yaqin (rasa yakin). Maksud dari mukasyafah (kasyf) itu sendiri
adalah tersingkapnya hati sebagai dampak dari dzikir yang dapat menghilangkan
keraguan. Juga, kadang-kadang yang mereka maksudkan dengan mukasyafah ialah
ditampakkannya sesuatu kepada seseorang, baik diwaktu jaga maupun tidur.
E.
Kritik Atas Metodologi Kaum Sufi
A. Meluruskan
paham kaum sufi
1. Penafsiran
hadis mimpi bertemu Nabi
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani
menyimpulkan penafsiran terhadap hadis mimpi bertemu Nabi yang diriwayatkan oleh
Imam al-Bukhari menjadi enam pendapat yaitu :
a. Hadis
tersebut harus dipahami secara perumpamaan (tasybih), karena Hadis tersebut
diperkuat dengan riwayat lain yang dalam redaksinya ada lafazh yang menunjukkan
arti perumpamaan
b. Orang
yang mimpi bertemu Nabi akan melihat kebenaran, baik secara nyata maupun hanya
ta’bir saja.
c. Hadis
tersebut dikhususkan kepada orang-orang yang sezaman dengan Nabi Muhammad SAW.
Dan bagi orang beriman kepada Nabi yang belum sempat melihatnya.
d. Bahwa
orang yang mimpi tersebut akan melihat Nabi, seperti ketika bercermin, namun hal
tersebut sangat mustahil
e. Maknanya
bahwa ia akan melihat Nabi Muhammad SAW. Pada hari kiamat dan tidak dikhususkan
bagi mereka yang telah mimpi bertemu dengan Nabi saja.
f. Orang
yang mimpi melihat Nabi, maka ia akan melihatnya secara nyata. Pendapat ini sangat
aneh dan diperdebatkan.
2. Penafsiran
Al-Qur’an tentang kehidupan para Syuhada’
B. Kritik
terhadap metode Liqa’ al-Nabi
Dalam penafsiran terhadap hadis
“siapa yang mimpi bertemu aku, ia akan melihatku secara nyata”. Tidak ditemukan
satu penafsiran yang menyatakan kemungkinan seseorang bertemu dengan Nabi
secara langsung. Kalau pun ada, penafsiran seperti itu merupakan utak-atik kaum
sufi saja dan para ulama menilainya sebagai suatu penafsiran yang tidak masuk
akal.
C. Kritik
terhadap thariq al-kasyf
Kaum sufi menjadikan kasyf sebagai
salah satu metodologi untuk membuktikan otentisitas Hadis. Kasyf hanyalah salah
satu dari pengetahuan jiwa yang berbicara, yang tidak tetap dan tidak teratur
dan bukan merupakan pengetahuan yang berlandaskan pada akal sehat dan tidak
pula berlandaskan dalil Syar’i. Kasyf merupakan karunia Allah bagi para pendaki
Spritual yang bisa salah dan bisa benar. Oleh karena itu klaim otentisitas
hadis melalui kasyf tidak bisa dipertanggungjawabakan secara ilmiah, karena di
samping adanya kriteria yang jelas yang bisa dijadikan sebagai patokan untuk
mengukur otentisitas hadis melalui thariq al-kasyf.
D. Hakikat
mimpi
Mimpi itu ada tiga macam : mimpi
yang benar sebagai kabar gembira dari Allah, mimpi yang membuat sedih
yangdatang nya dari syetan, dan mimpi dimana seseorang berbicara terhadap
dirinya sendiri (yang datang dari dirinya sendiri).
E. Hubungan
antara Liqa’ al-Nabi dan Thariq al-Kasyf dengan sistem Isnad
Menurut istilah Ahli hadis
kesinambungan penyamaian antara para pembawa berita disebut dengan istilah
ittishal al-sanad. Adapun kegiatan penyampaiannya disebut dengan istilah sistem
isnad. Walaupun dalam tradisi yahudi dan kristen telah berkembang sistem isnad,
tetapi menurut muhammad mushthafa al-a’dzami urgensi isnad baru nampak dalam kegiatan
periwayatan Hadis.
F.
‘Adalah dan
Keshalihan
Konsep keshalihan kaum sufi ini
tampak sama dengan konsep ‘adalah yang dirumuskan oleh ahli Hadis. Dengan
demikian, seperti oleh halnya Ahli hadis tidak gampang menerima apa yang
dikatakan oleh seseorang sebelum diteliti integritas moralnya terlebih dahulu.
Kaum sufi pun memberlakukan hal yang sama, yakni tidak setiap sufi yang mengaku
pernah bertemu Nabi atau mengalami Kasyf dapat dibenarkan begitu saja.
G. Peranan
ilham dalam penelitian “Illat Hadis”
Apabila para rasul mendapatkan
pengetahuan langsung dari Allah melalui Wahyu, maka bagi kaum sufi pengetahuan
tersebut terwujud dalam bentuk Ilham. Dengan dasar pemikiran yang seperti ini,
ilham bagi kaum sufi merupakan sesuatu yang penting. Kendatipun ilham bukan
merupakan tujuan utama pendakian spritual kaum sufi, tetapi banyak kaum sufi
yang mendambakan memperoleh pengetahuan ilham tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Asqalaniy, Al-Hafidz Ibnu Hajar. Nuzhah An-Nadhar Syarh Nukhbah Al-Fikr fi
Musthalah Ahlu Al-Atsar, Madinah: Maktabah Ilmiyyah
Amin, Kamaruddin. 2009. Menguji
Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadits, Jakarta: Hikmah
As-Suyuthi, Al-Hafidz Jalaluddin. Tadrib Ar-Rawi fi Syarhi Taqrib An Nawawi,
Kairo: Dar Al-Hadits
Bustamin, M. Isa H. A. Salam, 2004. Metodelogi
Kritik Hadits, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Dr. Ridlo bin Zakaria, Al-Irsyad ila Kaifiyati Dirasati Al-Isnad,
Kairo: Maktabah Ushuluddin
Ismail, M. Syuhudi. 1995. Kaedah
Keshahihan Sanad Hadis; Telaah Kritis dengan Tinjauan Pendekatan
Sejarah Jakarta: PT Bulan Bintang