-->

Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya Imam al-Qurthubi

Dalam Khazanah keilmuan khususnya dalam bidang tafsir, al-Qurthubi adalah salah satu ulama yang cerdas, produktif dan banyak mendapat apresiasi dari kalangan ulama. Tokoh tafsir al-Qurthubi nama lengkapnya Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Maliki al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M). Beliau lahir dilingkungan keluarga petani di Cordoba (Spanyol) pada masa kekuasaan Bani Muwahhidun tahun 580 H/1184 M. Tidak banyak sumber yang menyebutkan secara panjang tentang asal usul keluarga al-Qurthubi. Dalam beberapa kitab thabaqhat dan tarajim hanya terdapat keterangan sangat singkat mengenai nama, karya dan tahun.    Menganai sosok Imam al-Qurthubi, Syaikh al-Dzahabi menjelaskan “dia adalah seorang imam yang memiliki ilmu yang luas dan mendalam. Dia memiliki sejumlah karya yang sangat bermanfaat dan menunjukkan betapa luas pengetahuannya dan sempurna kepandaiannya”. Beliau meninggal dunia di Mesir pada malam senin, tepatnya pada tanggal 9 Syawal tahun 671 H. Makamnya berada di El-Meniya, di timur sungai Nil dan berbagai kalangan seringkali mengunjungi makamnya. Sehingga pada tahun 1971 M disana dibangun sebuah masjid sekaligus diabadikan nama imam al-Qurthubi pada masjid dengan nama masjid al-Qurthubi. Jika benar keterangan ‘Ali ‘Iyazi bahwa al-Qurthubi lahir pada tahun 580 H/1184 M, maka berarti al-Qurthubi hidup sampai berusia lebih 89 tahun menurut kalender masehi atau kurang lebih 91 tahun berdasarkan tahun hijriyah .
Miftahfaridsa.Site - Dalam Khazanah keilmuan khususnya dalam bidang tafsir, al-Qurthubi adalah salah satu ulama yang cerdas, produktif dan banyak mendapat apresiasi dari kalangan ulama. Tokoh tafsir al-Qurthubi nama lengkapnya Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Maliki al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M). Beliau lahir dilingkungan keluarga petani di Cordoba (Spanyol) pada masa kekuasaan Bani Muwahhidun tahun 580 H/1184 M. Tidak banyak sumber yang menyebutkan secara panjang tentang asal usul keluarga al-Qurthubi. Dalam beberapa kitab thabaqhat dan tarajim hanya terdapat keterangan sangat singkat mengenai nama, karya dan tahun.

Menganai sosok Imam al-Qurthubi, Syaikh al-Dzahabi menjelaskan “dia adalah seorang imam yang memiliki ilmu yang luas dan mendalam. Dia memiliki sejumlah karya yang sangat bermanfaat dan menunjukkan betapa luas pengetahuannya dan sempurna kepandaiannya”. Beliau meninggal dunia di Mesir pada malam senin, tepatnya pada tanggal 9 Syawal tahun 671 H. Makamnya berada di El-Meniya, di timur sungai Nil dan berbagai kalangan seringkali mengunjungi makamnya. Sehingga pada tahun 1971 M disana dibangun sebuah masjid sekaligus diabadikan nama imam al-Qurthubi pada masjid dengan nama masjid al-Qurthubi. Jika benar keterangan ‘Ali ‘Iyazi bahwa al-Qurthubi lahir pada tahun 580 H/1184 M, maka berarti al-Qurthubi hidup sampai berusia lebih 89 tahun menurut kalender masehi atau kurang lebih 91 tahun berdasarkan tahun hijriyah .
Kitab Tafsir al-Qurthubi ini di Tahqiq oleh Dr. Abdullah bin Abdul Mukhsin at-Turkiy . Tafsir al-Qurthubi terdiri dari 24 Juz, dan salah satu yang membuat biografi (tarajim) mengenai al-Qurthubi adalah Syaikh al-Dzahabi, beliau merupakan tokoh yang menafsirkan kitab al-Tafsir wa al-Mufassirun.

 Aliran Kalam dan Fiqihnya

Al-qurthubi dalam perjalanan intelektualnya tentunya dibarengi dengan pemahaman teologi dan madzhab sebagai bagian cara berpikirnya dalam menuangkan kitab tafsirnya. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa al-Qurthubi adalah seorang penganut Sunni Asy’ari dan beliau membela dan mempertahankan ahlu sunnah. Dan beliau tidak membiarkan terhadap serangan-serangan mu’tazilah terhadap pemikiran sunni apakah dalam persoalan hokum maupun aqidah. Dalam persoalan madzhab beliau adalah seorang malikiah. Dan hal ini dapat dilihat dalam penafsirannya mengenai persoalan hukum/fikih .

 Metode Penulisan Tafsir

Sebagaimana yang telah disinggung al-Farmawi, metode yang digunakan dalam penafsiran al-Qur’an, dapat dikategorikan menjadi empat. Pertama, metode tahlili yaitu menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat al-Qur’an sebagaimana yang tercantum didalam mushaf. Kedua, Metode ijmali yaitu menafsirkan ayat al-Qur’an secara global. Ketiga, Metode muqarran yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan cara melakukan perbandingan. Keempat, metode maudhu’I yaitu menafsirkan berdasarkan tema .
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa metode yang diterapkan al-Qurthubi dalam tafsirnya adalah metode tahlili karena al-Qurthubi mencoba menjelaskan dan memetakan kandungan ayat–ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat al-Qur’an sebagaimana yang tercantum didalam mushaf. Disebut tahlili karena ia menggunakan corak uraian mendetail dari beberapa aspeknya: dari ilmu gramatika dan sastra arab, ilmu sebab nuzul, nasikh-manshukh dan sebagainya.

Corak Penafsiran

Sebagaimana yang dibahas oleh Husain al-Dzahabi dalam kitabnya yang sangat terkenal dikalangan pengkaji tafsir al-Tafsir wa al-Mufassirun beliau menjelaskan bahwa tafsir al-Qurthubi yang berjudul aslinya  الجامعُ لأحكامِ القُرآنِ والمُبَيّنُ لما تضمنتهُ من السنة وآي الفرقان  (Himpunan hukum-hukum Al-Qur’an  dan menjelaskan  hal-hal yang termuat oleh Sunnah dan ayat-ayat Al-Qur’an) adalah kitab yang digolongkan tafsir yang bercorak fiqhi. Al-Qashabi Mahmud Zalath juga menyimpulkan bahwa tafsir al-Qurthubi memiliki kecenderungan fiqh yang sangat kental. Hal ini dapat dibuktikan dengan uraian-uraian al-Qurthubi yang secara panjang dan detail tentang hukum ketika memahami sebuah ayat-ayat yang menyangkut tentang hukum. Oleh karena dominasi kajian tafsir al-Qurthubi adalah tentang hukum-hukum, maka beliau menamai kitab tafsirnya dengan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an yang berarti penghimpunan hokum-hukum al-Qur’an .
Dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an sebenarnya al-Qurthubi menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an. Artinya, seluruh aspek ajaran yang ada dalam al-Qur’an; dari aspek teologi, hukum dan berbagai cabangnya, akhlak hingga aspek sejarah dan berbagai kisah-kisah dibahas ketika menafsirkan ayat-ayat yang terkait dengan aspek itu. Namun, kendatipun membahas berbagai persoalan, setiap mufassir tentu memiliki kecenderungan dari latar belakang keilmuan yang dimilikinya. Demikian dengan al-Qurthubi, meskipun ia membahas berbagai persoalan, tetapi ia jelas dengan kecenderungannyan kepada persoalan hukum (fiqh).

Karakteristik Tafsir

Persoalan menarik yang terdapat dalam tafsir ini dan perlu untuk dicermati adalah pernyataan yang dikemukakan oleh al-Qurthubi dalam muqaddimah tafsirannya yang Berbunyi :
وشرطي في هذا الكتاب : إضافة الأقوال إلى قائليها والأحاديث إلى مصنفيها فإنه يقال من بركة العلم أن يضاف القول إلى قائله
Syarat saya dalam kitab ini adalah menyandarkan semua perkataan kepada orang-orang yang mengatakannya dan berbagai hadits kepada pengarangnya, karena dikatakan bahwa diantara berkah ilmu adalah menyandarkan perkataan kepada orang yang mengatakannya.
Lebih lanjut beliau menjelaskan, ini karena banyak sekali hadis yang terdapat di dalam kitab fiqih dan tafsir tidak disebutkan secara jelas (mubham). Sehingga, tidak diketahui siapa yang meriwayatkanya. Hanya orang-orang yang merujuk pada kitab-kitab hadis saja yang dapat mengetahuinya. Sehingga orang yang tidak memiliki pengalaman pengetahuan tentang hal ini menjadi bingung. Dia tidak dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Hadist yang tidak disebutkan periwayatannya maka tidak dapat diterima jika dijadikan sebagai hujjah dan dalil, sampai hadis tersebut disandarkan pada perawi yang meriwayatkannya dan para ulam islam yang tsiqah  dan dikenal.

Sistematika Penulisan

Secara umum, ada tiga jenis sistematika yang diterapkan para mufassir dalam penulisan kitab tafsir. Pertama, sistematika Mushhafi, yaitu penulisan kitab tafsir dengan berpedoman pada urutan susunan surat-surat dan ayat-ayat sebagaimana yang tertera dalam mushaf. Kedua, sistematika Nuzuli, yaitu penulisan kitab tafsir dengan berpedoman pada kronologi atau asbabun nuzul turunnya ayat-ayat al-Qur’an, karena proses turunnya ayat al-Qur’an juga merupakan pokok penting yang mendorong untuk mudah memahami kandungan suatu ayat. Ketiga, sistematika Maudhu’i, yaitu penulisan kitab tafsir dengan berdasarkan topic-topik yang tertentu dengan cara mengumpulkan ayat-ayat yang relevan dengan topik-topik tertentu kemudian ditafsirkan .

Dari tiga sistematika diatas, dengan berdasarkan analisis terhadap kitab al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, maka al-Qurthubi termasuk dalam kategori sistematika Mushhafi. Belia memulai tafsirnya dari QS. Al-Fatihah sampai QS. Al-Nas sesuai dengan urutan surat dan ayat yang ada dalam mushaf al-Qur’an. Al-Qurthubi dalam penafsirannya, mula-mula menyebutkan nama surat disertai dengan argument tentang makkiyah dan madaniyyah-nya. Jika terdapat perbedaan pendapat tentang makkiyah dan madaniyyah-nya ia menegaskan bahwa hal itu sebagai ijma’, karena dalam al-Qur’an banyak surat yang termasuk dalam kelompok madaniyyah justru dalam beberapa isi ayatnya termasuk dalam kelompok makkiyah dan justru sebaliknya. Demikian menurut riwayat Ibn ‘Abbas dan Mujahid. Dalam menafsirkan surat tertentu, al-Qurthubi menjelaskan nama lain dari surat itu beserta makna dan latar belakang penamaan surat tersebut. Al-Qurthubi juga terkadang menguraikan riwayat tentang keutamaan dan faedah membaca surat tertentu.
Untuk lebih detail sistematika penafsiran al-Qurthubi dalam menafsirkan al-Qur’an adalah sebagai berikut:

1.    Menafsirkan ayat demi ayat sesuai dengan urutan dalam mushaf dengan cara mengelompokkan beberapa ayat dalam satu tahap pembahasan kemudian dirinci pembahasannya ayat demi ayat. Namun tidak jarang juga satu ayat yang mengandung banyak masalah hukum tidak dekelompokkan dengan ayat lain.
2.    Dalam menafsirkan ayat-ayat itu, terutama dalam ayat-ayat hokum, ia mengidentifikasi persoalan atau beberapa masalah yang berkaitan dengan hukum dalam ayat tersebut.
Beberapa karya ilmiah yang sudah membahas tentang tafsir al-Qurthubi adalah:
a.    Kajian Bahasa dalam Tafsir al-Qurthubi yang ditulis oleh Kamaluddin Abunawas Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar
b.    Konsep Keadilan dalam al-Qur’an (Telaah kata al-‘adl dan al-Qist dalam Tafsir al-Qurthubi) Skripsi UIN Sunan Kalijaga yang dtulis oleh Akhmad Saikuddin
c.    Hikmah Menurut Al-Qurtubi dalam Tafsir Al-Jami’ Li Ahkam Al-Quran Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, yang ditulis oleh
d.    Hikmah Menurut Al-Qurtubi dalam Tafsir Al-Jami’ Li Ahkam Al-Quran Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Ruslan

Contohnya Penafsiran al-Qurthubi:

 Q.S. Al-Maidah ayat 5:

 “(dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.”

 (المحصنات) al-tahashun adalah sesuatu yang terpelihara dan tejaga baik: dari akar kata ini diambil kosa kata al-hisn (benteng) karena dengan benteng itu orang dapat bertahan dan selamat. Dalam konteks ini Allah berfirman: "Dan kami mengajarinya (Nabi Dawud) membuat baju besi agar dapat menyelamatkan kau dalam pertempuran" (al-Anbiya': 80) artinya dengan berbaju itu kamu menjadi terpelihara dan terjaga (dari cidera dalam pertempuran). Lafal al-hishan (dengan huruf ha' berbaris dibawah الحيصان) yang berarti kuda jantan juga berasal dari akar kata ini karena kuda memang dapat mencegah pemiliknya dari kecelakaan. Tapi al-hashan (dengan huruf ha' berbaris diatas الحصان) berarti al-afifat (perempuan baik-baik) karena kepribadianny yang baik itu dpat menjaga darinya kehancuran. Perempuan yang pandai menjaga dirinya akan selalu terpelihar sehingga dia menjadi seorang yang terpelihara baik

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas berkenaan dengan firman Allah (san perempuan baik-baik dari mereka yang telah diberi kitab) yaitu mereka yang m,empunyai perjanjian damai dengan pemerintahan Islam bukan yang berada diwilayah perang; jadi ayat itu berkonotasi khusus, (tidak umum bagi semua perempuan kaafir). Tapi ada yang berpendapat bahwa konotasi ayat itu umum pada senua perempuan kafir, baik yang zimmiyah, maupun yang harbiyat.
Dari contoh penafsiran ayat diatas Bentuk penafsiran al-Qurthubi bi al-Ma'tsur (periwayatan). Karena kebanyakan dalam penafsirannya menampilkan hadis-hadis nabi dan bahkan sebelum al-Qurthubi mengambil keputusan atau hasil dari ayat-ayat yang akan ditafsirkan beliau mengemukakan pendapat para ulama.

   Q.S. Al-Baqarah: 43

 “dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’”


Al-Qurthubi membagi pembahasan ayat ini menjadi 34 masalah. Diantara pembahasan yang menarik adalah masalah ke-16. ia mendiskusikan berbagai pendapat tentang status anak kecil yang menjadi Imam salat. Di antara tokoh yang mengatakan boleh adalah al-Sauri, Malik dan Ashab al-Ra’y. Dalam masalah ini, al-Qurtubi berbeda pendapat dengan mazhab yang dianutnya, dengan pernyataannya:

إمامة الصغير جائزة إذا كان قارئا

(anak kecil boleh menjadi imam jika memiliki bacaan yang baik)

    Q.S. Al-Baqarah: 187

 “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu;…”

Al-Qurthubi membaginya menjadi 36 masalah. Pada pembahsan ke-12, ia mendiskusikan persoalan makannya orang yang lupa pada siang hari di bulan Ramadhan. Ia berpendapat orang tersebut tidak berkewajiban berkewajiban mengganti puasanya, yang berbeda dengan pendapat Malik sebagai imam mazhabnya. Dengan pernyataannya:

إن من أكل أو شرب ناسيا فلا قضاء عليه وإن صومه تام

“Sesungguhnya orang yang makan atau minum karena lupa, maka tidak wajib baginya menggantinya dan sesungguhnya puasanya adalah sempurna”

Bila dicermati dari contoh-contoh penafsiran di atas, di satu sisi menggambarkan betapa al-Qurtubi banyak mendiskusikan persoalan-persoalan hukum yang menjadikan tafsir ini termasuk ke dalam jajaran tafsir yang bercorak hukum. Di sisi lain, dari contoh-contoh tersebut juga terlihat bahwa al-Qurtubi yang bermazhab Maliki ternyata tidak sepenuhnya berpegang teguh dengan pendapat imam mazhabnya.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel