SYEIKH ABDUS SAMAD AL-PALIMBANI
Sabtu, 29 September 2012
Oleh: Miftah Faried SA
Syeikh Abdus
Samad Al-Palimbani adalah anak seorang ulama terkenal bernaama Syeikh
Abdul Jalil bin Abdul Wahab bin Syeikh Ahmad Al-Madani Al-Yamani. Bapak
Syeikh Abdus Samad Al-Palimbani ini adalah tokoh sufi, dia senang
berkelana ke mana-mana. Setelah enam bulan Syeikh Abdul Jalil berada di Palimbang, dia terus mengembara ke tanah Jawa. Dari Jawa , dia terus berkelana ke India. Sesudah itu dia menuju ke Murqui
di Selatan Birma. Dia juga pernah pergi ke Kedah, dia berada di sini
pada 1 Jumadil Akhir 1122 H. Di antara muridnya di Kedah adalah Sultan
Kedah yang bernama Tengku Muhammad Jiwa.
Sultan Kedah, Tengku Muhammad Jiwa, mengangkat gurunya, Syeikh Abdu Jalil sebagai Mufti.
Sultan Kedah mengawinkan gurunya dengan Wan Zainab binti Dato’ Seri
Maharaja Putera Dewa. Dari perkawinannya ini, dia mendapat dua orang
anak, yaitu Wan Abduk Qadir, dan Wan Abdullah.
Pada
suatu ketika datanglah seorang muridnya di Palimbang bernama Raden
Siran ke Kedah. Raden Siran minta kesediaan gurunya, Syeikh Abdul Jalil
untuk berkunjung ke Palimbang, karena banyak murid-muridnya yang
merindukannya di sana. Permintaan Raden Siran itu disetujui oleh Syeikh
Abdul Jalil.
Setelah
Syeikh Abdul Jalil melapor kepada Sultan Kedah, Tengku Muhammad Jiwa,
Maka berangkatlah dia bersama muridnya Raden Siran menuju Palimbang.
Raden Siran dengan penuh kesungguhan meminta agar Syeikh Abdul Jalil
berkenan kawin lagi di Palimbang. Permintaan Raden Siran ini ternyata
tidak sia-sia, ternyata gurunya, Syeikh Abdul Jalil memperkenankan
harapan muridnya. Dikawinkanlah Syeikh Abdu Jalil dengan Raden Ranti.
Dari perkawinannya inilah melahirkan seorang putera bernama Abdus Samad,
yang dikemudian hari dikenal nama Syeikh Abdus Samad Al-Palimbani,
seorang tokoh sufi yang kita ketengahkan dalam tulisan ini.
Setelah
beberapa waktu berselang, Syeikh Abdul Jalil kembali menuju Kedah,
melanjutkan tugasnya sebagai Mufti Kedah. Ketiga puteranya, Abdul Qadir,
Abdullah, dan Abdus Samad, pada mulanya dididiknya sendiri, dia berikan
pelajaran keagamaan, kemudian ketiganya melanjutkan pendidikannya ke
salah satu pondok di negeri Patani. Dari sana terus dua di antaranya,
Wan Abdul Qadir dan Abdus Samad melanjutkan pendidikannya di Makkah,
sedangkan Wan Abdullah tidak melanjutkan pendidikannya ke sana. Pada
tangggal 19 Rabi’ul Awwal tahun 1153 H, Wan Abdullah dinobatkan menjadi
bakal Sultan, dengan gelar Seri Maharaja Putera Dewa.
Setelah Wan Abdul Qadir menamatkan pendidikannya di Makkah dan Madinah, dia kembali ke Kedah, kemudian dia dilantik menjadi Mufti Kedah mengantikan orang tuanya, Syeikh Abdul Jalil.
Adapun Syeikh Abdus Samad masih
menatap di Makkah, dan dengan beberapa orang kawannya, antara lain
Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al-Banjari dan Syeikh Daud bin
Abdullah Al-Patani melanjutkan pendidikannya ke Madinah. Di sana, dia
belajar kepada ulama-ulama sufi, antara lain Syeikh Athaullah dan Syeikh Muhammad bin Abdul Karim Saman Al-Madani.
Diceriterakan
, Syeikh Abdus Samad Al-Palimbani pernah pulang ke Palimbang, namun,
karena Palimbang ketika itu telah dijajah oleh Belanda, sehingga dia
berkeberatan tingal di Palimbang. Dengan tekad bulat dia pergi ke hutan
menebang kayu untuk membuat sebuah perahu yang akan dipergunakannya
mengarungi samudera pergi ke Makkah. Hal ini dia lakukan untuk
menunjukkan bahwa dia betul-betul anti penjajah, anti Belanda, anti
orang kafir, dan dia tidak mau berhubungan dengan orang-orang kafir.
Dengan
demikian, walau bagaimanapun sulitnya pergi ke Makkah dengan perahu,
namun, dia tetap tidak mau menggunakan kapal kepunyaan Belanda. Dia
pergi ke Makkah pada tanggal 10 Muharram 1244 H.
Yang
penting ditulis di sini adalah, Syeikh Abdus Samad Al-Palimbani
terkenal sebagai seorang sufi yang menulis beberapa karya tulis tentang
tasawuf, sekaligus dia dikenal sebagai penegak jihad fi sabilillah
pada peperangan di daerah Senggara melawan bangsa Siam yang bernama
Bidha. Tidak benar dugaan orang yang mengatakan bahwa sufi hanya
memikirkan akhirat. Ternyata, Syeikh Abdus Samad Al-Palimbani dikenal
sebagai sufi dan yang berperang, dan syahid di medan juang.
Beberapa karya tulis Syeikh Abdus Samad Al-Palimbani adalah :
1. Shirat al Murid fi Bayani Kalimat al Tauhid.
2. Hidayat al-Salikin
3. Siyar al-Salikin
4. Urwat al-Wustqa
5. Ratib Syeikh Abdus Samad Al-Palimbani
6. Nashihat al-Muslimina wa Tazkirat al-Mu’minin fi Fadail al-Jihadi wa Karamat al-Mujtahidina fi Sabilillah.
Karya tulisnya yang terkenal, Hidayat al-Salikin adalah banyak diambilnya dari kitab Bidayat al-Hidayah karangan Imam Al-Ghazali, kemudian dia tambahkan dengan kitab-kitab karangan sufi lainnya. Kitab Hidayat al-Salikin merupakan kitab tasawuf pertama yang ditulisnya dalam bahasa Melayu.
Syeikh
Abdus Samad Al-Palimbani berkomentar, bahwa keutamaan ilmu Tasawuf,
ialah apabila ilmu itu disoroti dari segi manfaatnya. Dia menunjuk
sejumlah kitab tasawuf sebagai buktinya, antara lain Bidayat al-Hidayah, Minhaj al-Abidin, Ihya’ Ulum al-Din, Arba’ina fi Ushul al-Din, kesemuanya adalah kitab tasawuf karangan Imam Al-Ghazali. Serlain itu dia ketengahkan pula kitab Yawaqit wa al-Jawahir, karangan Syeikh Abdul Wahhab As-Sya’rani, Syarah Hikam karangan Syeikh Ibnu ‘Ubbad, Al-Durr al-Samin karangan Sayid Abdul Qadir Alaydrus, dan lain-lain.
Abdus
Samad Al-Palimbani di abad ke-18, pada saat itu Islam di Kesultanan
Palembang telah menunjukkan kemajuan-kemajuan yang menonjol. Sultan
Najmuddin (berkuasa 1706-1774 M.) dan puteranya Sultan Bahauddin
(berkuasa 1774-1804 M.) kelihatan memberikan perhatian yang besar untuk
pembinaan Islam di sana. Masjid Agung Palembang yang sangat megah,
misalnya, dibangun pada tahun 1740 M. Para ulama dan cendekiawan muslim
mendapat pengayoman pula dari kesultanan, sehingga dalam abad itu muncul
penulis-penulis Palembang yang sampai sekarang masih banyak tulisan
mereka yang dapat ditemui. Kesultanan Palembang pada abad ke-18 M itu
adalah menjadi salah satu pusat pengkajian Islam. Sejak abad ke-18 itu
sudah banyak orang Arab yang menatap di sana, dan punya perkampungan di
sana.
Nama
lengkapnya disebut Abdus Samad Al-Jawi Al-Palimbani. Dari nama ini bisa
diketahui bahwa dia adalah orang Jawi (Melayu) yang berasal dari
Palembang. Riwayat hidupnya belum banyak yang bisa diungkapkan, dia dia banyak dikenal melalui tulisan-tulisannya yang masih ada sampai sekarang.
Sewaktu Syeikh Abdus Samad bin Syeikh Abdul Jalil masih menetap di Makkah ia
dan beberapa orang sahabatnya di antaranya Syeikh Muhammad Arsyad bin
Abdullah al-Banjari dan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani melanjutkan
pelajarannya di Madinah. Di sana dia belajar kepada ulama-ulama sufi di
antaranya Syeikh Athaullah dan Syeikh Muhammad bin Abdul Karim Saman
al-Madani. Dikatakan bahwa beliau pernah pulang ke Palembang, namun oleh
karena Palembang ketika itu telah dijajah oleh Belanda, dia tidak
bersedia tinggal di Palembang. Dengan tekad bulat, dia pergi ke hutan
menebang kayu untuk membuat perahu yang akan dipergunakan untuk kembali ke Makkah. Hal ini disebabkan karena semangat anti kepada Belanda anti kafir, sehingga beliau tidak akan mengadakan hubungan dengan orang kafir sedikitpun. Jadi walau bagaimana sulitnya untuk pergi ke Makkah kerena semua kapal adalah kepunyaan Belanda terpaksalah dia bertindak nekad seperti yang disebutkan di atas. Apakah benar tidaknya ceritera ini, namun, nyatanya banyak orang yang menceriterakankannya. Berdasarkan buku Al-Tarikh Salasilah Kedah, menerangkan bahwa pada 10 Muharram 1244 H, duli Tengku Muhammad Saat dan Tuan Syeikh Abdus Samad anak Syeikh Abdul Jalil al-Mahdani yang baru sampai di Makkah hendak berjumpa dengan saudaranya Syeikh Abdul Qadir yang menjadi Mufti di negeri
Kedah, dan Dato Kema Jaya Pulau Langkawi, dan hulubalang pahlawan
semuanya sepakat membuat angkatan yang kuat hingga dapat pulang ke Kota
Kuala bertemu Tengku Muhammd Saat.
Dijelaskan
bahwa Syeikh Abdus Samad baru kembali dari Makkah pada 10 Muharram 1244
H, namun tahun yang tepat tentang ini tidak ada yang memestikannya.
Nampaknya
peranan Syeikh Abdus Samad al-Palimbani sangat penting dalam perang
yang terjadi antara Kedah dan Patani melawan Siam. Dalam hal yang lain
saudaranya Syeikh Abdul Qadir bin Syeikh Abdul Jalil juga memegang
peraranan penting dalam kerajaan Kedah, selain daripada jabatannya
sebagai Mufti, dia juga pernah diutus ke Benggala untuk bertemu dengan
pihak East India Company yang ketika itu tidak membayar penghasilan di
Pulau Pinang.