hasan al-bana, pembaharu di mesir
Minggu, 14 Oktober 2012
Latar Belakang
Mesir

Begitupun keadaan politik semakin berkembang dikalangan istana
raja, partai politik, dan Inggris. Perlu diketahui pula, bahwa keadaan ini
mendominasi atas politik dan ekonomi Eropa disertai dominasi budaya yang
terlihat pada kecenderungan elite Mesir untuk bergaya hidup Barat dan untuk
memungut gagasan Barat, meski dengan mengorbankan keyakinan dan praktik
tradisional Islam.[1]
Kehidupan Hasan
al-Banna (1906-1949)
Hasan Al-Banna tumbuh besar di kota Mesir, Mahmudiah. Ayahnya
selain tukang reparasi jam, juga ulama. Seperti lazimnya masyarakat Mesir,
Hasan mengikuti jejak ayahnya. Hasan belajar mereparasi jam, dan mendapat
pendidikan agama dasar. Pada usisa dua belas tahun, hasan masuk sekolah dasar
negeri. Pada waktu ini juga, Hasan masuk sebuah kelompok Islam, Himpunan
Perilaku Bermoral. Himpunan ini menekankan agar menjalankan ritual dan
moralitas Islam sepenuhnya.
Hubungan awal Hasan yang paling berpengaruh adalah dengan tarekat
sufi Hasafiyah. Beliau bergabung pada usia tiga belas tahun. Kehidupan sufinya
ini membuat Hasan merasakan betapa penting hubungan antara pemimpin dan
pengikut. Selain itu, beliau juga senantiasa menghargai tasawuf, selama berada
pada jalur yang benar.
Pada 1923 Banna pergi ke Kairo, untuk masuk Dar Al-‘Ulum, sekolah
tinggi guru Mesir. Dan disinilah beliau belajar tarekat Hasafiyah cabang
setempat. Selama lima tahun di Kairo, beliau menyaksikan roda politik Mesir.
Yang banyak terpengaruhi budaya dan nilai sekular Barat. Akan tetapi ini
dijadikannya sebagai peluru pertama untuk memulihkan masyarakat Islami di
Mesir. Dalam perjalanan ilmiahnya, beliau menemukan orang yang sependapat
dengannya yaitu ulama Azhar, Syaikh Yusuf Ad-Dijwi. Yusuf gagal dalam menjalankan misinya yang
dimaksudkan untuk membangkitkan Islam.
Gagasan Banna untuk program aksi, melibatkan pembentukan organisasi
yang dipimpin oleh ulama. Beliau menerima tanggapan simpati dari Muhibuddin
Al-Khatib, yang menerbitkan jurnal mingguan bernama Al-Fath, dan ikut
mendirikan Asosiasi Pemuda Muslim (YMMA). Jelas ini menggambarkan gerakan
pembaruan model baru. Kemudian beberapa bulan Banna mendirikan asosiasi yang
bernama Ikhwanul Muslimun. Yang kemudian dibentuk peraturan-peraturan
YMMA. Dan secara langsung posisi Ikhwanul Muslimun berdiri diatas fondasi yang
diletakkan YMMA dan kelompok aktivis keagamaan lainnya.
Setelah lulus dari Dar Al-‘Ulum pada 1927, Banna diangkat
kementerian pendidikan menjadi guru bahasa Arab untuk sekolah dasar di
Ismailiyah, yang berlokasi di Terusan Suez dan dilokasi markas besar Suez Canal
Company. Banna ingin berbagi visi Islam reformisnya dengan masyarakat
Ismailiah. Banna tak mau terlibat dalam berbagai faksi keagamaan lokal. Oleh
karenanya beliau ceramah hanya sebatas di beberapa tempat saja.
Pada maret 1928, Bnna mendirikan Ikhwanul Muslimun dengan tujuan
mempromosikan Islam sejati dan meluncurkan perjuangan melawan dominasi asing. Yang
kemudian misi publik ambisius Banna membawanya pada rana dunia politik.[2]
Pemikiran Hasan Al-Bana
Banna percaya bahwa kelemahan dan kerentanan muslim terhadap
dominasi Eropa disebabkan oleh penyimpangan kaum Muslim dari Islam sejati. Untuk membangkitkan Mesir kaum Muslim harus
bertekad untuk kembali memahami dan hidup menurut Islam seperti yang ditegaskan
dalam Al-Quran dan As-Sunah.[3]
Menurut beliau, pemahaman yang benar tentang Islam mensyaratkan
pengenalan Al-Quran dan Sunnah, dua sumber otoritatif untuk menetapkan
peraturan Islam untuk setiap keadaan.
Konsepsi Islam sejatinya Banna menuntut disucikannya keyakinan dan
praktik keagamaan yang ada. Kaum muslim dalam beribadah haruslah berpegang pada
kitab suci. Secara umum, kaum muslim harus memerangi bid’ah dalam praktik
agama. Merujuk ke maraknya pemujaan terhadap wali, banna percaya bahwa memuji
dan menghormati orang saleh karena amal salehnya itu boleh saja.
Adapun soal iman, Banna berpendapat bahwa siapa pun bisa disebut
muslim, kalau dia mengaku percaya pada Allah dan kenabian Muhammad, berbuat
sesuai kepercayaannya itu, dan menunaikan kewajiban agama. Bannna mengatakan
bahwa yang disebut kafir itu adalah orang yang terang-terangan menyatakan
murtsd, mengingkari keyakinan dan praktik-prktik yang lazim dikenal sebagai
bagian dari Islam, dan sengaja mendistorsi (memutar balikan fakta) arti
Al-Quran.
Tulisan Banna soal agama dan politik, mencerminkan transisi (peralihan) dari penekanan pembaru islam
sebelumnya bahwa Islam dan politik tidak dapat dipisahkan. Baginya, Islam hanya
meletakkan tiga prinsip pokok. Pertama, penguasa bertanggung jawab
kepada Allah dan rakyat, bahkan dianggap sebagai abdi rakyat. Kedua,
bangsa muslim harus bertindak secara bersatu, karena persaudaraan muslim
merupakan prinsip iman. Ketiga, bangsa muslim berhak memonitor tindakan
penguasa, menasehati penguasa, dan mengupayakan agar kehendak bangsa dihormati.
Banyak visi-visi yang di kemukakan oleh Hasan Al-Bana, antara lain
mewujudkan visi ekonomi dan menegakkan tatanan budaya muslim serta menciptakan
suasana masyarakat yang religius.
Hasan Al-Banna: Organisator dan Aktivis
Inovasi utama Banna untuk gerakan Islam modern terletak pada bidang
praktis organisasi dan aksi. Satu
pelajaran yang dipetiknya yaitu bahwa para pemburu sebelumnya berniat baik
namun tidak mengembangkan sarana yang efektif.
Beliau bertekad memperbaiki ini dengan menciptakan organisassi aktivis
untuk menerapkan misi pembaruan Islam. Dalam mengembangkan organisasi, beliau
memasukkan misi birokrasi.
Adapun untuk pendekatan organisasi Ikhwannya yaitu dengan cara
pragmatis, mengembangkan lembaga baru untuk mengendalikan kian banyaknya
anggota, dan mengadakan percobaan dengan berbagai struktur. Pada 1946, Banna
merumuskan serangkaiaan perintah yang dirancang untuk menjamin otoritasnya atas
semua unit yang ada di organisasi. Dia menjadi pembimbing umum, jabatan
puncaknya hingga beliau meninggal dunia.
Banna menanamkan aktivismenya kepada Ikhwanul Muslimin, dan
mengarahkan mereka untuk memperlihatkan kesempernaan Islam dalam berbagai upaya
mereka. Tujuan utama Ikhwan adalah menyebarkan dakwah Islam sejati, dan ini
melibatkan pendidikan. Oleh karena itu, Banna membina masyarakat Muslimnya
untuk memnfaatkan kejeniusan dalam menggunakan potensi orang-orang, kelompok
dalam suatu kegiatan.[4]
Banna menggambarkan proses pengembaraan Islam secara umum. Pertama,
menyebarkan pesan melalui kuliah umum, pidato pada kesempatan upacara, dan
penerbitan. Kedua, Ikhwan beraksi beersama kelompok seperti pengembara,
yang mengembangkan kecakapan fisik dan bertempur, disamping meningkatkan
disiplin keagamaannya. Ketiga, membuat misi Ikhwan berhasil, seperti
terciptanya tatanan Islam.[5]
B. Sayyed Qutb
Kehidupan, Karier, dan Karya Tulis
Sayyed Qutb lahir pada Tahun 1906 dalam keluarga menengah di dusun
Mesir. Qutb pindah ke Kairo pada 1920-an untuk menyelesaikan pendidikannya.
Kemudian beliau diangkat menjadi guru dan inspektur pada Kementerian
Pendidikan, menjadi pegawai disana sampai beliau mengundurkan diri pada 1953. Pada
saat yang sama, beliau terkenal sebagai penulis dan kritikus sastra, dibawah
bimbingan dan pengaruh tokoh seperti ‘Abbas Al-Aqqad. Meski sebagai partisipan aktif yang minor
dalam kalangan sastra di Kairo selama 1930-an dan 1940-an, Qutb juga terlibat
dalam berbagai debat pada waktu itu. Debat yang diutarakan Qutb ini terlihat
sebagai seorang moralis. Mengapa demikian?, karena Qutb memandang bahwa
lingkungan masyarakatnya mengalami kemerosotan moral.
Kembalinya Sayyid Qutb ke Mesir pada 1950 bebarengan dengan
berkembangnya krisis politik Mesir yang kemudian menyebabkan terjadinya kudeta
militer pada Juli 1952. Selama periode inilah tulisan Qutb jadi lebih diwarnai
kritik sosial dan polemik politik.
Kemudian pemahamannya mengenai visi Islam, dan interpretasinya
mengenai kewajiban Islam, membentuk poros perkembangan tulisannya. Buku seperti
Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyyah fi Al-Islam (Keadilan Sosial Dalam Islam)
(1949), Ma’arakat Al-Islam wa Ar-Rasmaliyyah (Pergulatan antara Islam dan
Kapitalisme) (1951), dan As-Salam Al-‘Alami wa Al-Islam (Perdamaian dunia dan
Islam) (1951), menegaskan kemampuan Islam untuk menjadi ideologi yamh
diinginkan dan pas bagi dunia pada pertengahan abad kedua puluh, dan merupakan
saksi bahwa Qutb menemukan watak ideologi ini yang sepenuhnya memuaskan. Menurut
Qutb, Islam tampaknya punya jawaban untuk semua problem sosial dan politik pada
waktu itu. Islam juga menyodorkan kemungkinan untuk menciptakan masyarakat yang
harmonis dan padu.
Pada tahun 1954 terjadi pelarangan adanya Ikhwanul Muslimun, yang
berakibat penahanan sementara Sayyed Qutb dan figur ikhwan lain. Kemudian
selang beberapa bulan pada Februari/Maret 1945 mereka dibebaskan. Ini karena di
dalam Dewan Komando Revolusi ada opsir-opsir berpengaruh yang takut melihat
ambisi dan semakin berkuasanya Nasser.
Singkat kejadian, pada musim panas 1965 penahanan anggota dan
simpatisan Ikhwanul Muslimin dimulai. Pada Agustus, Sayyed Qutb ditahan, begitu
pula semua anggota kelompok yang dekat dengan dirinya. Dan pada September,
pihak berwenang Mesir memeriksa kasusnya. Mereka menuduh ada persengkokolan
besar yang diorganisasikan oleh Aparat Rahasia Ikhwanul Muslimin, dan bermaksud
membunuh presiden Nasser serta menciptakan kekacauan umum, dan pada akhirnya
akan merebut kekuasaan.
Ditangan jaksa, nasihat, desakan, peringatan serta polemik yang
mewarnai Ma’alim Fi Ath-Thariq jadi mengancam, dan dipakai untuk
menyusun dakwaan terhadap Sayyed Qutb. Qutb diadili oleh pengadilan militer,
yang dimulai pada 12 April 1966. Sebagian besar berdasar pada tulisannya, namu
juga pada ‘pengakuan’ orang lain, beliau dituduh berupaya menumbangkan
pemerintah Mesir dengan kekerasan. Pada 21 Agustus 1966, Qutb bersama ‘Abduh
Fatah Ismail dan mantan teman satu sel Qutb, Muhammad Yusuf Hawwasy, dinyatakan
bersalah dan dihukum mati. Hukuman ini dilaksanakan pada 29 Agustus 1966,
Sayyed Qutb dan dua temannya digantung.
Adapun beberapa karya tulis beliau yaitu Ma’alim Fi Ath-Thariq
(Papan Petunjuk Jalan, 1964)[6], Fi
Zhilal Al-Qur’an (Dalam Naungan Qur’an, 1952-1965), Adwaa’ ‘Ala Ma’alim
Fith-Thariiq (Kejahiliahan Manhaj), Al-Hukum wa Qadhiyyat Takfiril
Muslim (Hukum yang Melanggar dan Memerangi Syariat Allah).[7]
Visi Politik : dari Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyyah fi Al-Islam ke
Ma’alim fi Ath-Thariq
Berdasarkan perkembangannya ini, marilah kita lihat lebih dekat
mengenai konsepsi politik Sayyed Qutb. Dari tulisan sosio-politik awalnya
terlihat jelas bahwa Qutb mulai mendiagnosis penyakit masyarakatnya, dan
memberikan ressep penyembuhan, dari posisi yang menggemakan kepedulian banyak
orang-yaitu, bahwa dampak sistem kekuasaan Barat telah mengoyak-ngoyak
masyarakat. Nilai, etika, dan norma masyarakat yang ada, mendapat tantangan
bukan saja dari gagasan baru, namun bahkan dari sistem kekuasaan yang
menjadikan gagasan itu lebih dapat dipercaya, persuasif dan menggiurkan.
Dalam buku Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyyah Fi Al-Islam (1949),
perhatian liberal dipadukan dengan perhatian orang yang cemas melihat kondisi
masyarakat Islam. Namun dalam tulisannya dikemudian hari, Qutb semakin bergerak
ke posisi dimana keadaan posisi ini dan otoritas yang mendukung eksistensinya
harus lebih diutamakan atas pertimbangan lainnya. Dibawah logika argumennya
sendiri, pada saat dia menulis Ma’alim Fi Ath-Thariq, Qutb meninggalkan gagasan
individu yang mulanya dianut oleh beliau, dan semakin bergerak ke posisi dimana
umat secara logis dan etis mendahului semua idividu yang membentuk umat itu.
Implikasi hal ini bagi visi politik Sayyed Qutb ada dua, yakni: pertama,
politik kini kira-kira tak kurang dari menciptakan keserasian Ilahiah di dunia
ini. Kedua, berpolitik berarti menangkap secara intuitif pengetahuan
tentang kebenaran mutlak ini, pola dan keselarasannya, diikuti dengan
pembantukan kembali secara radikal masyarakat yang sesuai dengan ritmenya.
Dengan demikian, akan tercipta kembali umat yang damai, menentramkan hati dan bermoral,
dan menyingkirkan semua perwujudan politik yang berdasar pada pilihan individu
beserta egoisme dan konflik kepentingannya.[8]
Daftar pustaka
David
Commins, “Hasan Al-Banna (1906-1949)”, dalam Ali Rahnema (ed.), “Para
Perintis Zaman Baru Islam”, (Bandung: Mizan, 1998),
Charles Tripp,
“Sayyed Qutb : Visi Politik,” dalam Ali Rahnema (ed), Para Perintis Zaman
Baru Islam, (Bandung: Mizan), 1998.
K.
Salim Bahnasawi, “Butir-Butir pemikiran Sayyed Qutb: Menuju Pembaharuan
Gerakan Islam ”, (Jakarta: Gema Insani).1982
Sayyed
Qutb, Beberapa Studi Tentang Islam: Hasan Al-Bana dan Kejeniusan Pembangunan,
dalam A. Rachman Zainuddin (penerjemah), (Jakarta: Media Da’wah, 1982)